17/01/2011

BERPIKIR " THINKING"


BERPIKIR (THINKING)


A.        Pengertian Berpikir
Dalam arti yang terbatas berpikir itu tidak dapat didefinisikan. Tiap kegiatan jiwa
yang menggunakan kata-kata dan pengertian selalu mengandung hal berpikir. Biasanya kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yang kita kehendaki.
Adapun pengertian berpikir menurut beberapa ahli Pendidikan, diantaranya adalah:
  1. Suryasubrata (1990: 54) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses dan jalannya.
  2. Resnick (Ho dan Fook, 1999) menyatakan bahwa berpikir adalah suatu proses yang melibatkan operasi mental seperti klasifikasi, induksi, deduksi, dan penalaran.
  3. Sedangkan menurut Ibrahim dan Nur   pengertian berpikir adalah kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada inferensi, atau pertimbangan yang seksama. Berarti kemampuan menganalisis, mengkritik dan mencapai suatu kesimpulan selalu berdasarkan inferensi atau judgement, dengan demikian berpikir merupakan proses yang kompleks dan non-algoritmik.

Ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Dengan demikian dalam arti luas kita dapat mengatakan : Berpikir adalah bergaul dengan abstraksi-abstraksi, atau dengan kata lain berpikir adalah meletakkan atau mencari hubungan/pertalian antara abstraksi-abstraksi. Berpikir erat kaitannya dengan daya jiwa-jiwa yang lain, seperti dengan tanggapan, ingatan, pengertian dan perasaan.
  
Beberapa aliran psikologi memberikan pendapatnya tentang konsep berpikir, yaitu diantaranya :
  1. Psikologi Asosiasi mengemukakan, bahwa berpikir itu tidak lain daripada jalannya tanggapan-tanggapan yang dikuasai oleh hukum asosiasi. Aliran asosiasi berpendapat bahwa dalam alam kejiawaan yang penting ialah terjadinya, tersimpannya dan bekerjanya tanggapan-tanggapan. Unsur yang paling sederhana dan merupakan dasar bagi semua aktifitas kejiwaan adalah tanggapan-tanggapan. Daya jiwa yang lebih tinggi, seperti perasaan, kemauan, keinginan dan berpikir, semua berasal atau terjadi karena bekerjanya tanggapan-tanggapan. Keaktifan pribadi manusia itu sendiri diabaikannya. Pendapat inilah yang kemudian menimbulkan pendidikan dan pengajaran yang bersifat intelektualistis dan verbalistis. Tokoh yang terkenal dalam aliran ini ialah John Locke (1632-1704) dan Herbart (1770-1841). Dengan adanya eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh para ahli psikologi kemudian pendapat aliran ini tidak dapat dipertahankan lagi.
  2. Aliran Behaviorisme : berpendapat bahwa berpikir adalah gerakan-gerakan reaksi yang dilakukan oleh urat syaraf dan otot-otot bicara seperti halnya kita mengucapkan ”buah pikiran”. Jadi menurut Behaviorisme ”berpikir” tidak lain adalah berbicara. Jika pada psikologi asosiasi yang merupakan unsur-unsur yang paling sederhana dalam kejiwaan manusia adalah tanggapan-tanggapan, maka pada behaviorisme unsur yang paling sederhana itu adalah refleks. Refleks adalah gerakan atau reaksi tak sadar yang disebabkan adanya pearngsang dari luar. Semua keaktifan jiwa yang paling tinggi, seperti perasaan, kemauan dan berpikir, dikembalikannya pada refleks-refleks. Dalam penyelidikannya terhadap tingkah laku manusia, behaviorisme hanya mau tahu soal tingkah laku (badaniah) saja. Gejala-gejala psikis yang mungkin terjadi adalah akibat dari adanya gejala-gejala atau perubahan-perubahan jasmaniah sebagai reaksi terhadap perangsang-perangsang tertentu. itulah sebabnya menurut kaum behaviorisme (W. James) ”orang tidak menangis karena susah, tetapi orang susah karena menangis”. Juga J.B. Watson, seorang Behavioris yang lebih radikal lagi mengatakannya bahwa : Bahasa ialah gerak-gerak tertentu dari pangkal tenggorokan dan bagian-bagian mulut lainnya, dan bunyi yang diakibatkannya. Senyum adalah gerak-gerak tertentu dari cuping hidung dan sudut mulut disertai kerlipan mata.
Tentu saja terhadap pendapat ini banyak  yang tidak menyetujuinya. manusia bukan sekedar mesin reaksi seperti robot yang hanya bertindak dan berbuat jika ada perangsang dari luar. Demikian pula terhadap pendapatnya tentang berpikir, kita tidak dapat menyetujuinya. memang ada benarnya, bahwa kadang-kadang dalam pekerjaan berpikir dapat dilihat atau didengar adanya berbicara. Tetapi pendapat itu dapat dibantah dengan adanya kenyataan, bahwa orang dapat bersenandung sambil berpikir tentang sesuatu. Kita memandang berpikir sebagai aktifitas rohani yang sebenarnya, yang memang kadang-kadang disertai juga gejala-gejala jasmani. Gejala-gejala jasmani hanya merupakan penampakan turut aktifnya dalam situasi berpikir, seperti halnya orang tegang ototnya bila ada pemusatan pikiran. Tetapi gejala-gejala jasamani yang demikian itu  tidak termasuk hal yang esensial dalam keaktifan berpikir.
  1. Psikologi Gestalt memandang bahwa gestalt yang teratur mempunyai peranan yang besar dalam berpikir. Psikologi Gestalt berpendapat bahwa proses berpikir pun seperti proses gejala-gejala psikis yang lain merupakan suatu kebulatan.
        Berlainan dengan Behaviorisme, maka penganut Psikologi Gestalt memandang berpikir itu merupakan keaktifan psikis yang abstrak, yang prosesnya tidak dapat kita amati dengan alat indra kita. Proses berpikir itu dilukiskan sebagai berikut : ”jika dalam diri seseorang timbul suatu masalah yang harus dipecahkan, terjadilah terlebih dahulu suatu skema/bagan yang masih agak kabur-kabur. Bagan itu dipecahkan dan dibanding-bandingkan dengan seksama.
          Bagian Gestalt dalam bagian itu diamati benar-benar. Orang mencari bagian-bagian yang belum tampak dalam kebulatan yang dihadapinya. Kemudian sekonyong-konyong anggota-anggota/bagian yang dicarinya itu muncul, sehingga tak terasa kekosongan lagi. Apa yang dicarinya telah diketemukan. Masalah yang dihadapi terpecahkan.
  1. Sehubungan dengan pendapat para ahli Psikologi  Gestalt itu, maka ahli-ahli psikologi sekarang sependapat bahwa proses berpikir pada taraf yang tinggi pada umumnya melalui tahap-tahap sebagai berikut :
a)  Timbulnya masalah, kesulitan yang harus dipecahkan.
b)  Mencari dan mengumpulkan fakta-fakta yang dianggap ada sangkut pautnya    dengan pemecahan masalah.
c)  Taraf pengolahan atau pencernaan, fakta diolah dan dicernakan.
d)  Taraf penemuan atau pemahaman; menemukan cara memecahkan masalah.
e)   Menilai, menyempurnakan dan  mencocokkan hasil pemecahan.
      Perlu diingat bahwa jalannya berpikir itu ditentukan oleh bermacam-macam faktor. Suatu masalah yang sama, mungkin menimbulkan adanya pemecahan yang berbeda-beda pada tiap orang. Sehingga hasilnya pun kemungkinan berbeda pula. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi jalannya berpikir itu antara lain ialah bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah itu, situasi yang sedang dialami seseorang dan situasi luar yang dihadapi, pengalaman-pengalaman orang itu, dan bagaimana kecerdasan orang tersebut.
Dalam kaitannya dengan proses yang terjadi pada saat berpikir, Marpaung (Budiarto dan Hartono, 2002: 481) memberikan gambaran bahwa proses berpikir merupakan proses untuk memperoleh informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali informasi dari ingatan siswa. Dengan demikian dapat dikatakan, pada prinsipnya proses berpikir meliputi tiga langkah pokok yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan.
B.        Beberapa Macam Cara Berpikir
            Di atas telah diuraikan bahwa dalam berpikir orang mengolah, mengorganisasikan bagian-bagian dari pengetahuannya, sehingga pengalaman-pengalaman dan pengetahuan yang tidak teratur menjadi tersusun merupakan kebulatan-kebulatan yang dapat dikuasai atau dipahami. Dalam hal ini orang dapat mendekati masalah itu melalui beberapa cara :
1. Berpikir Induktif
menuju kepada yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan-kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena tadi. Beberapa contoh sebagai penjelasan :
 a) seorang ahli psikologi mengadakan penyelidikan dengan observasi. Bayi A setelah dilahirkan segera menangis, bayi B juga begitu, bayi C, D, E, F, dan seterusnya demikan pula. Kesimpulan semua bayi yang normal segera menangis pada waktu dilahirkan.
Seorang guru mengadakan eksperimen-eksperimen menanam biji-bijian bersama murid-muridnya; jagung ditanam, tumbuh ke atas, kacang tanah ditanam dengan mata lembaganya di sebelah bawah, tumbuhnya ke atas juga, biji-bijian yang lain demikian pula. Kesimpulan : semua batang tanaman tumbuhnya ke atas mencari sinar matahari.

Tepat atau tidaknya kesimpulan (cara berpikir) yang diambil secara induktif ini terutama bergantung kepada representatif atau tidaknya sampel yang diambil yang mewakili fenomena keseluruhan.
Makin besar jumlah smapel yang siambil berarti makin presentatif, dan makin besar pula taraf dapat di percaya ( validitas) dari kesimpulan itu; dan sebaliknya. Taraf validitas kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh objek validitas dari si pengamat dna homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki.
2. Berpikir Deduktif
Sebaliknya dari berpikir induktif, maka berpikir deduktif prosesnya berlangsung dari yang umum menuju kepada yang khusus. Dalam cara berpikir ini, orang bertolak dari sutu teori taupun prinsip ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat umum. Dari situ ia menerapkannya kepada fenomena-fenomena yang khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut. Contoh sebagai penjelasan :

 Semua logam jika dipanaskan memuai ( kesimpulan umum)
    Besi adalah  logam ( kesimpulam khusus )
    Besi jika dipanaskan akan memuai ( kesimpulan deduksi)

Namun ada pula semacam kesimpulan deduksi yang tidak dapat kita terima kebenarannya, yang disebut silogisme semu. Contoh :
Semua manusia bernafas dengan paru-paru ( premis mayor)
Anjing bernafas dengan paru-paru (premis minor)
Karena itu anjing adalah manusia (kesimpulan yang salah )
3. Berpikir Analogis
Analogi berarti persamaan atau perbandingan. Berpikir analogi ialah berpikir dengan jalan menyamakan atau memperbandingkan fenomena-fenomena yang biasa/pernah dialami. Di dalam cara berpikir ini, orang beranggapan bahwa kebenaran dari fenomena-fenomena yang pernah dialaminya berlaku pula bagi fenomena yang dihadapi sekarang.
Contoh :setiap  hari kira-kira jam 11.00 udara diatas kota Bogor  kelihatan berawan tebal; dan tidak lama sesudah itu hujan lebat turun sampai sore. Pada suatu hari kira-kira jam 11.00 udara di atas kota Bogor berawan tebal. Kesimpulannya : sudah tentu sebentar lagi akan turun lagi hujan lebat sampai sore.
Kesimpulan yang di ambil dari berpikir analogis ini kebenarannya kurang dapat dipercaya. Kebenarannya ditentukan oleh faktor kebetulan dan bukan berdasarkan perhitungan yang tepat. Dengan kata lain: validitas kebenarannya sangat rendah.
Menurut tingkatannya ada dua jenis cara berpikir yaitu berpikir tingkat rendah (lower-order thinking) dan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking).  Berikut ini merupakan uraian dari masing-masing istilah tersebut.
a. Berpikir Tingkat Rendah
Bloom (Ruseffendi, 1991: 200) mengemukakan bahwa berpikir tingkat rendah meliputi tiga aspek pertama dari ranah kognitif yaitu aspek pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), dan aplikasi (application). Selanjutnya Ruseffendi (1991) memberikan penjelasan kepada masing-masing aspek tersebut yaitu pengetahuan berkenaan dengan hapalan dan ingatan, misalnya hapal atau ingat tentang simbol, istilah, fakta, konsep, definisi, dalil, prosedur, pendekatan, dan metode. Pemahaman berhubungan dengan penguasaan atau mengerti tentang sesuatu tetapi tahap pengertiannya masih rendah, misalnya mengubah informasi ke dalam bentuk paralel yang lebih bermakna, memberikan interpretasi, semua itu dilakukan atas perintah. Pemahaman ada tiga macam yaitu pengubahan (translation), pemberian arti (interpretation), dan pembuatan ekstrapolasi (extrapolation). Aplikasi adalah kemampuan siswa menggunakan apa yang diperolehnya dalam situasi khusus yang baru dan konkrit.
Pendapat lain mengenai berpikir tingkat rendah, Marzano (1994) berpendapat bahwa yang dimaksud berpikir tingkat rendah meliputi aspek mengingat, memfokuskan, dan mengumpulkan informasi. Aspek berpikir tingkat rendah menurut pendapat Bloom dan Marzano terdapat kemiripan satu sama lain.
Selain dua pendapat di atas, Webb dan Coxford (1993) memberikan pengertian bahwa yang dimaksud berpikir tingkat rendah yaitu meliputi operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika secara langsung, mengikuti prosedur (algoritma baku).
Meskipun ketiga pendapat di atas memberikan pengertian tentang berpikir tingkat rendah berbeda secara redaksional, namun mengandung makna yang sejalan yaitu sama-sama proses berpikir tingkat rendah yang erat kaitannya dengan soal-soal rutin.
b. Berpikir Tingkat Tinggi
Berbicara mengenai berpikir tingkat tinggi, para ahli mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Meskipun berbeda pendapat, tetapi para ahli setuju bahwa berpikir tingkat tinggi berarti kapasitas untuk berada pada tingkat yang lebih tinggi dari informasi yang ada, mengevaluasi, mempunyai kesadaran metakognitif dan mempunyai kemampuan pemecahan masalah. Pemikiran kritis, kreatif, dan konstruktif tidak dapat dipisahkan dari berpikir tingkat tinggi.
Ruseffendi (1991: 220) mengemukakan bahwa tiga ranah kognitif terakhir dari Bloom yaitu aspek analisis, sintesis dan evaluasi, termasuk pada aspek berpikir tingkat. Lebih jauh Ruseffendi (1991, 222) memaparkan masing-masing aspek tersebut. Menganalisis adalah kemampuan memisahkan materi ke dalam bagian-bagian yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagian, mampu melihat komponen-komponan, bagaimana komponen-komponen itu berhubungan dan terorganisasikan, kemampuan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin. Selanjutnya yang dimaksud sisntesis adalah kemampuan bekerja dengan bagian-bagiannya, unsur-unsurnya dan menyusun menjadi suatu kebulatan baru seperti pola dan struktur. Aspek terakhir adalah evaluasi, merupakan aspek yang meliputi aspek-aspek sebelumnya.
Sedangkan menurut Marzano (1994) berpikir tingkat tinggi meliputi aspek-aspek mengorganisasi, membangun (generating), menginvestigasi dan mengevaluasi. Bloom dan Marzano memiliki pandangan yang sejalan, terdapat beberapa kesamaan yaitu aspek generalisasi dan integrasi dari Marzano sama dengan aspek sintesis dari Bloom. Jadi dapat dikatakan bahwa berpikir tingkat tinggi berarti berpikir dengan mengambil beberapa tahap yang lebih tinggi dari hierarki proses kognitif.
Pendapat lain tentang berpikir tingkat tinggi diungkapkan oleh Ibrahim dan Nur (2000:  yang menjelaskan bahwa karekteristik berpikir tingkat tinggi adalah non-algoritmik yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, cenderung kompleks, seringkali menghasilkan banyak solusi, melibatkan pertimbangan dan interpretasi, serta aktivitas mental yang tinggi.
           

2. Kemampuan Berpikir Kreatif
a. Berpikir Kreatif
Sebelum kita membahas berpikir kreatif, perlu kita ketahui fungsi otak manusia. Otak manusia secara garis besar dibagi menjadi dua bagian yaitu otak kiri dan otak kanan. Otak kiri dan otak kanan mempunyai fungsi yang berbeda, namun saling terkait. Fungsi otak kiri sebagai sumber logika sedangkan otak kanan sebagai sumber perasaan spiritual (Nurhalim, S.M. 2003. 39). Pendidikan pada umumnya banyak mengasah fungsi otak kiri. Ketidakseimbangan kedua fungsi otak tersebut berdampak kepada proses pendidikan yang menguatnya aspek kognitif tetapi berkurangnya perasaan. Perasaan merupakan komponen dalam kemampuan berpikir kreatif (kreativitas) yang sangat penting. Masalahnya adalah menguatnya aspek kognitif tanpa disertai dengan meningkatnya kemampuan berpikir kreatif tidak cukup untuk berkompetisi di era global, karena tantangan dalam hidup ini tidak cukup diselesaikan dengan kemampuan kognitif saja, melainkan diperlukan pemikiran yang kreatif. Oleh karena itu dalam pendidikan perlu keseimbangan antara pengembangan berpikir kreatif yang merupakan dominasi otak kanan, dan kemampuan kognitif adalah fungsi otak kiri. Fungsi kedua bagian otak adalah seperti pada Tabel 2.1.
Kreativitas artinya daya cipta. Daya cipta sebagai kemampuan untuk menciptakan hal-hal yang sama sekali baru adalah hal yang hampir tidak mungkin, oleh karena itu kreativitas merupakan gabungan (kombinasi) dari hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Sehingga Munandar (1999:47) mendefinisikan kreativitas sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi baru, berdasarkan data, informasi, atau unsur-unsur yang ada.

0 comments: