25/11/2009

PSIKOLOGI VERSUS AGAMA



BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang

Seorang perempuan diduga diganggu oleh setan karena mengaku dan meyakini dirinya  mendengar suara-suara gaib dan mengandung Isaac, anak yang dijanjikan. Maka dilakukan ritual keagamaan untuk mengusir setan berkali-kali tapi tak berhasil. Lantas psikolog didatangkan dan mendalami akar-akar psikologis dari peristiwa tersebut. Dan diketahui bahwa si perempuan pernah tujuh kali menggugurkan kandungannya karena didiagnosis secara medis janinnya berkelamin perempuan. Sedangkan desakan keluarga suaminya memegang kultur bahwa semua hal bergantung pada kaum laki-laki. kesimpulannya, si perempuan tengah menderita depresi, kemarahan, kesedihan akut yang terus disembunyikan hingga akhirnya hal itu tak tertahankan lagi dan mencuat dalam bentuk gejala psikis yang sangat ekstrim.

      Hal tersebut diatas merupakan suatu gambaran antara perbedaan antara psikologi dan agama. Berangkat dari cerita tersebut, maka kami akan menguraikan perbedaan antara psikologi dan agama, serta beberapa perkataan para psikolog mengenai agama yang akhirnya melahirkan makalah yang berjudul Psikologi Versus Agama.


1.2       Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin diangkat dari makalah ini adalah:
·         Apa pandangan psikologi ateisme mengenai agama?
·         Mengapa psikologi memusuhi agama?
·         Bagaimana pendapat para psikolog sekuler tentang agama?

1.3        Tujuan Penulisan

      Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
·         Mengetahui pandangan psikologi ateisme mengenai agama
·         Mengetahui alasan mengapa psikologi memusuhi agama
·         Mengetahui pendapat para psikolog sekuler tentang agama


1.4        Sistematika Penulisan

      Makalah ini disusun dengan menggunakan referensi mengenai agama dan psikologi, serta beberapa situs dari internet dengan materi yang bersesuaian.







BAB II
PEMBAHASAN

2.1      Psikologi Ateisme
           
            Nietzsche, seorang ateis dunia yang terkenal dengan ucapannya “Tuhan sudah mati”, adalah orang yang melecehkan gagasan Kristen dan orang yang tidak mempercayai Kristen. Pemikiriannya sangat berkaitan dengan psikologinya yang aneh dan kompleks.
            Nietzsche mempunyai seorang ayah yang merupakan pastor Lutheran. Nietzsche memiliki ikatan batin yang sangat kuat dengan ayahnya. Sehingga pada saat ayahnya meninggal karena penyakit di otaknya, ia sangat kehilangan. Sejak kematian ayahnya, Nietzsche mulai menunjukkan perasaan agama yang kuat, dan mengidentifikasikan Tuhan dengan ayahnya. Ia berkata, “Dalam segala hal, Tuhan telah membimbingku dengan selamat seperti seorang ayah yang menuntun anak kecilnya yang lemah. seperti seorang anak, aku bergantung pada berkatNya.”
            Namun pada saat Nietzsche menginjak usia 24 tahun, ia mulai merasa bahwa ayahnya pergi terlalu cepat. Ayahnya sangat lembut, dan memiliki banyak kelemahan gara-gara sakit yang di deritanya. Ia menyimpulkan kelemahan ayahnya berasal dari agama Kristen yang dianutnya. Ia mulai mengkritik agama Kristen, pada moralitasnya, pada Teologinya, pada moralitasnya, pada seluruh makna Tuhan Kristiani. Penolakan Nietzsche kepada Kristianitas tidak lain adalah penolakan terhadap kelemahan ayahnya.
            Akhirnya Nietzsche mengalami penolakan terhadap ayahnya yang lemah dan mati sangat kristiani. Penolakan ini bukan karena hasil perenungan dan penelitian yang sadar. Akan tetapi karena nalurinya. Seseorang menolak agama bukan karena secara ilmiah ia menemukan bahwa agama adalah sekumpulan takhayul, atau karena alasan rasional. Seseorang menolak agama melainkan karena faktor psikologis yang tidak disadari.
            Secara singkat, pada waktu kecil, anak mengidolakan ayahnya sebagai pelindung dan pemelihara. Ketika anak berada dalam posisi lemah tak berdaya, ia mendapatkan ketentraman dengan bergantung pada ayahnya. Bagi setiap anak, ayah adalah Tuhan. Setelah dewasa, ketika mansuia berhadapan dengan kekuatan alam yang perkasa, ia mengkhayal, berilusi, tentang Tuhan yang seperti ayahnya. Untuk  memenuhi kebutuhan akan perlindungan seorang ayah, ia menciptakan Tuhan Bapak. Manusia diciptakan tidak berdasarkan citra Tuhan, tetapi Tuhan diciptakan berdasarkan citra manusia. Berangkat dari pemahaman itulah, Nietzsche mendustakan agama.

2.2      Psikologi memusuhi agama
            Psikologi sesungguhnya lahir dan tumbuh besar bersama agama. Namun karena adanya pengaruh sains modern, psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir menunjukkan gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan setidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang ekstrim, psikologi menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan tindakan kekerasan. Dan sebaliknya, agamawan menilai psikologi sebagai arogan, elitis, amoral dan memberhalakan diri.
Hal-hal yang menjadikan pertentangan antara psikologi dan agama diantaranya adalah:
·         Persaingan perhatian
Agama menjawab masalah kematian, penderitaan dan bencana. Namun pada beberapa abad belakangan ini, posisi agama disisihkan oleh sains. Apa yang dulu dijawab agama, sekarang  dijawab sains. Agama kehilangan otoritasnya, mula – mula dalam menjelaskan alam, dan akhirnya juga dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan ilmu pengetahuan alam untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk menghayati pengalaman subjektif manusia.

Pargament menyatakan, “psikologi menjadi pesaing agama dalam masyarakat barat. Ia menawarkan cara memandang dunia dengan pandangannya sendiri tentang kehidupan yang baik, dan dengan mekanismenya sendiri untuk memecahkan persoalan. Sebagai pengganti pengakuan dosa, kita punya psikoterapi. Alih-alih konversi, kita punya pertumbuhan personal. Kita tidak punya kriteria dosa dan pahala, kita punya etika. Kita dapat mendorong pergantian ini lebih jauh dengan menunjukkan bagaimana psikologi menyamai agama dalam upacara ritual. Tradisi, penggunaan lambang, dan pemimpin karismatis. Aku tidak ingin menyebut psikologi sebagai agama, karena hal itu akan mengaburkan makna agama, tetapi tidak terlalu keliru untuk menyatakan bahwa dalam teori dan praktek psikologi berfungsi seperti agama.”

·         Pandangan psikologi yang negatif terhadap agama
Sebab kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah paham dominan di kalangan psikolog yang melecehkan agama. Freud menyebut agama sekali waktu sebagai obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak, dan ilusi. Katanya meninggalkan agama menjadi karakter intelektual, menganggap agama sebagai patologi, akan menjadikan satu sikap ilmiah.
Seorang psikolog behavioral, Ellis, mengatakan “agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat berkorelasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban yang absolut. Kebanyakan orang yang secara dogmatis mempercayai agama tertentu mempercayai hal-hal yang absolut yang merusak kesehatan. Orang yang sehat secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan orang yang sangat religious cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak mau berubah, karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran tidak rasional dan gangguan emosional.

·         Pandangan agama yang negatif terhadap psikologi
Arogansi psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. Salah satunya seorang penulis artikel yang menyerang psikologi mengatakan,“ banyak orang berkata bahwa psikologi dapat diintegrasikan dengan Alkitab dan agama Kristen. Ini sama saja dengan mencampurkan apel dan jeruk, yang menghasilkan salad buah, dan bukannya buah yang asli. Mungkinkah ada persahabatan antara kegelapan dan cahaya? Bisakah pohon yang tak bertuhan dan buruk menghasilkan buah yang baik? Adakah nasihat yang bertentangan dengan petunjuk Tuhan? Tuhan kita adalah tuhan yang pencemburu. Ia tidak ingin berbagi keagungan-Nya dengan yang lain. Dan ia tidak perlu itu. setiap makhluk yang mau menggantikan firman Khalik adalah berhala dan Tuhan palsu. Seperti kata Harun kepada Musa, orang-orang menuntut sapi emas, dan mereka melemparkan ke dalamnya semua kekayaan mereka dan dari situ keluarlah berhala. Itulah juga yang terjadi pada berhala psikologi, yang berupaya menggantikan firman Tuhan yang suci.”
            Penulis ini juga menunjukkan pandangan psikologi yang tidak mungkin dipertemukan:

Bibel berkata
Psikologi berkata
Menyangkal diri dan mengikuti Yesus
Meninggalkan diri, harga diri lebih tinggi
Lupakan masa lalu
Tenggelamkan diri ke masa lalu
Hormati ayah dan ibu
Salahkan ayah dan ibu
Dosa adalah masalah
Pelecehan atau penyakit adalah  masalah
Jawabannya: pertobatan
Jawabannya: terapi lebih banyak
Selalu menilai dan mengukur
Jangan mempertanyakan terapis
Jangan percaya pada mitos dan filsafat hampa
Teori mengembalikan memori
Cintai tuhan, kemudian tetanggamu
Cintai diri
Cinta  teragung adalah berserah diri
Cinta teragung adalah mencintai diri
Jangan berhalakan apa pun di samping Tuhan
Berhala psikologi boleh-boleh saja
Tidak boleh ada nasihat melawan tuhan
Psikologi adalah pengecualian
Konseling berdasarkan agama
Setiap orang bisa jadi konselor
Semua kepintaran duniawi dimata Tuhan adalah ketololan
Doktor tahu apapun
Tidak boleh mendakwa tanpa ada dua saksi
Boleh-boleh saja berpraduga
Memaafkan adalah perintah
Memaafkan adalah pilihan
Cinta akan menutupi aib bapak
Ceritakan aib bapak pada semua orang
Diharamkan sihir dan guna-guna
Hipnotis dibolehkan
Setan penyebar fitnah
Boleh-boleh saja memfitnah
Haram bersaksi palsu
Boleh-boleh saja asal kamu percaya
Terlarang bercerai atau keluarga hancur
Cerai boleh dan bahkan bermanfaat
Boleh memukul anak
Pemukulan anak adalah pelecehan
Sembahlah tuhan
Terlalu banyak mengingat tuhan adalah neurotis
Laknatlah setan
Buat cerita tentang setan
Berbahagialah ia yang datang atas nama tuhan
tidak baik berbeda dengan kelompok terapis
Minuman keras adalah haram
Alkoholisme adalah penyakit
Homoseks adalah kekejian
Homoseks adalah gaya hidup alternatif
Kebenaran adalah firman Tuhan
Kebenaran adalah subjektif
Realitas adalah firman Tuhan
Realitas adalah subjektif
Dosa berakibat buruk
Satu-satunya dosa adalah harga diri yang rendah
Neraka adalah api yang sebenarnya
Neraka hanyalah mitos atau metafora
Tuhan menganggap mereka (orang-orang Kristen) sebagai pengikut sapi emas
Kristen masih suka psikologi
Semua manusia berdosa, hanya Tuhanlah yang maksum
Manusia baik, tetapi disfungsional
Dosa dibelenggu egoisme
Ketergantungan atau penyakit tidak bisa dilepaskan
Dusta berarti mendustakan Yesus
Dosa adalah biasa
Mengarahkan manusia kepada Yesus
Mengarahkan manusia kepada diri sendiri
Tuhanlah satu-satunya penyembuh kita
Setiap orang bisa menyembuhkan dirinya
Bergantunglah pada tuhan
Bergantunglah pada diri sendiri
Tidak mengandalkan perasaan untuk mengambil keputusan
Perasaan menentukan keputusan
Gila muncul karena orang mengandalkan diri dan perasaan
Gila disebabkan penyakit mental.

2.3   Agama menurut para Psikolog Sekuler
        Berikut adalah pendapat beberapa psikolog sekuler mengenai agama:
·         James Leuba : Agama sebagai irasionalitas dan patologi
Psikolog yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga paling informative dan persuasif adalah Leuba. Leuba menentang agama teistik tradisional dengan berbagai cara. Ia mengumpulkan secara langsung bukti-bukti untuk menyimpulkan bahwa pengalaman mistikal dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip pokok psikologi dan fisiologi.
Leuba membuat semacam kuesioner dengan tujuan mengumpulkan data mengenai agama. Hasilnya menunjukan bahwa para ilmuwan dan sejarahwan yang terkenal jauh lebih kecil kemungkinanya untuk mempercayai Tuhan dan keabadian ketimbang rekan-rekan mereka yang kurang terkemuka. Di samping keterkenalan, para ilmuwan yang paking kecil kemungkinan untuk mempercayai kepercayaan agama adalah mereka yang paling menguasai informasi tentang proses biologis dan psikologis. Di antara semua ilmuwan yang menjawab kuesioner Leuba, para psikolog menunjukkan tingkat kepercayaan yang paling rendah.
Walaupun sangat keras mengkritik agama, Leuba sebetulnya bermaksud untuk memperbarui dan bukan menghancurkan agama. Leuba mengemukakan teori tentang dorongan spiritual inteelilgen menuju kesempurnaan moral, suatu kecenderungan yang dianggapnya sebagai karekteristik asasi tabiat manusia. Leuba menyarankan dibentuknya kelompok keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk upacara, ibadah, pengakuan dan kesenian sacral yang sudah dimodifikasi dan dikembangkan berdasarkan bantuan pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi menyembah Tuhan sosial, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari nilai- nilai hakiki, termasuk wawasan batiniah, kedamaian, dan energi moral dari tradisi teistiknya.

·         B.F Skinner : agama sebagai perilaku yang diperteguh
Jika pandangan Leuba tentang sains masih mempertahankan adanya dorongan spiritual, pandangan kaum behavioris yang keras mendorong mereka mereduksi agama seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Skinner mempertahankan bahwa, seperti perilaku lainnya, keragaman pengalaman agama terjadi karena diikuti oleh stimuli yang memperteguh.
Kepercayaan dan aturan agama menghimpun akibat-akibat dari peneguhan yang dilakukan oleh agen-agen pengendali untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus untuk keuntungan institusi agama dan tatanan sosial yang lebih besar.
            Menurut Skinner, jika suatu hari anda pergi ke tempat ibadah dan merasakan kedamaian, anda akan datang berkali-kali ke situ. Kedamaian menjadi peneguh. Yang mendorong anda untuk melakukan shalat bukanlah petunjuk yang datang dari langit, seperti kata ustad, bukan pula karena tekanan bawah sadar, seperti teori psikoanalis. Anda melakukannya karena dahulu pada saat anda pertama kali melakukannya, anda merasa terbebas dari tekanan dan merasa lega. Hal inilah yang disebut tindakan berulang yang diperteguh atau tensionreducing behavior.
            Skinner berpendapat bahwa agama masih dibutuhkan oleh orang awam, terutama untuk mendorong mereka menangguhkan pemuasan kebutuhan masa kini untuk mencapai masa depan yang lebih baik.

·         George Vetter : agama sebagai respon pada situasi tak terduga
Vetter menjabarkan berbagai alasan untuk penilaiannya yang negatif terhadap agama : konsepsi naïf tentang Tuhan yang bersifat antropomorfis, peperangan dan kebiadaban lainnya yang dilakukan atas nama agama sepanjang sejarah, keterbelakangan pengetahuan tokoh agama berkenaan dengan masalah sosial, kegagalan iman keagamaan dalam menunjukkan hubungan empiris yang konsisten dengan perilaku moral.
Vetter berpendapat bahwa agama adalah respons manusia untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan tidak terkendali. Ada dua faktor utama yang menentukan apakah perilaku itu akan terjadi. Pertama perilaku yang bermanfaat pada situasi terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk ritual pada situasi yang sama dikemudian hari. Dengan cara begitu, kata Vetter, dalam situasi terdesak, Tuhan sering disapa sebagai orang tua. Kedua, menurut teori belajar Guthrie, perilaku cenderung dijalankan jika perilaku itu mengubah kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku itu setidak-tidaknya sedang berlangsung ketika sesuatu yang lain mengubah situasi, karena dalam kedua keadaan itu perilaku itu dipertahankan sebagai tindakan terakhir yang berkaitan dengan kompleks tersebut.
Vetter mengidentifikasi dua kelompok perilaku agama yang memenuhi kriteria ini. Pertama perilaku entreaty seperti doa atau meditasi yand dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan boleh jadi memberikan ketenangan yang diperlukan untuk tindakan praktis yang stimultan. Dan perilaku orang seperti upacara dramatis yang mengalihkan individu cukup lama sehingga stres emosionalnya berangsur – angsur hilang dengan sendirinya.

·          Sigmund Freud : agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakan.
Menurut freud, agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol, yakni kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam sosok bapak dan ritual wajib yang dijalankan secara menjelimet.
Freud menyimpulkan agama berasal dari pengalaman universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak-anak menganggap orangtua, terutama bapak, sebagai orang yang maha tahu dan dan maha kuasa. Pemeliharaan yang penuh perlindungan dan kasih sayang yang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti itu menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surga buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian ketika kekuatan alam dan situasi hidup lainnya membangkitkan perasaan tak berdaya, kerinduan akan seseorang yang berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra tuhan sebagai bapak yang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapaklah, yang disebut freud “merupakan akar setiap bentuk agama”.
Karena itu, menurutnya agama adalah ilusi, yang berarti agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan pemikiran. Lebih dari itu, agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu maupun masyarakat.
Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan kemudian dihambat untuk berpikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan didominasi oleh hambatan berpikir. Hanya dengan meninggalkan agama dan ajarannya yang dogmatis dan bertumpu pada sains dan akal, individu akan berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya. Individu yang dewasa akan belajar hidup dengan menerima banyak celah yang ditinggalkan sains, serta dengan berani menghadapi situasi tak berdaya yang menjadi nasib kita semua. Setelah kedewasaan ini meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan pada akhirnya diterima dengan ikhlas.





BAB III
PENUTUP


3.1       Kesimpulan
Berdasarkan uraian makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
·         Psikologi Ateisme memandang agama sebagai pencitraan manusia terhadap kelemahan sehingga menciptakan sosok yang dapat melindunginya. Sehingga melahirkan satu kesimpulan bahwa bukan manusia yang diciptakan Tuhan tapi Tuhan yang diciptakan dari pencitraan manusia
·         Hal – hal yang menyebabkan psikologi bertentangan dengan agama adalah karena adanya persaingan, pandangan psikologi yang negatif terhadap agama (menyatakan agama sebagai patologi atau penyakit mental), dan pandangan negatif agama terhadap psikologi yang menyatakan bahwa psikologi memberhalakan diri
·         Pandangan psikolog sekuler mengenai agama diantaranya
-          James Leuba                : Agama sebagai irasionalitas dan patologi
-          B.F Skinner                 : Agama sebagai perilaku yang diperteguh
-          George Vitter              : Agama sebagai respon pada situasi tak terduga
-          Sigmund Freud           : Agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan.





DAFTAR PUSTAKA

Rakhmat, Jalaludin. 2004. Psikologi Agama, sebuah pengantar. Bandung: PT Mizan Pustaka

Yusuf, Syamsu. Psikologi Belajar Agama. Bandung: Maestro

http://www.scribd.com/doc/14943279/psikologi-vs-agama#fullscreen:off

http://indonesia.faithfreedom.org/forum/muslim-taat-murtad-gara2-psikologi-t17414/

http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01773.html


0 comments: