PSIKOLOGI VERSUS AGAMA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seorang
perempuan diduga diganggu oleh setan karena mengaku dan meyakini dirinya
mendengar suara-suara gaib dan mengandung Isaac, anak yang dijanjikan. Maka
dilakukan ritual keagamaan untuk mengusir setan berkali-kali tapi tak berhasil. Lantas
psikolog didatangkan dan mendalami akar-akar psikologis dari peristiwa
tersebut. Dan diketahui bahwa si perempuan pernah tujuh kali menggugurkan
kandungannya karena didiagnosis secara medis janinnya berkelamin perempuan.
Sedangkan desakan keluarga
suaminya
memegang kultur bahwa semua hal bergantung pada kaum
laki-laki. kesimpulannya,
si perempuan tengah menderita depresi, kemarahan, kesedihan akut yang terus
disembunyikan hingga akhirnya hal itu tak tertahankan lagi dan mencuat dalam
bentuk gejala psikis yang sangat ekstrim.
Hal tersebut diatas merupakan suatu gambaran antara perbedaan
antara psikologi dan agama. Berangkat dari cerita tersebut, maka kami akan
menguraikan perbedaan antara psikologi dan agama, serta beberapa perkataan para
psikolog mengenai agama yang akhirnya melahirkan makalah yang berjudul
Psikologi Versus Agama.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah yang ingin diangkat dari makalah ini adalah:
·
Apa pandangan psikologi ateisme mengenai
agama?
·
Mengapa psikologi memusuhi agama?
·
Bagaimana pendapat para psikolog sekuler
tentang agama?
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
·
Mengetahui pandangan psikologi ateisme
mengenai agama
·
Mengetahui alasan mengapa psikologi memusuhi
agama
·
Mengetahui pendapat para psikolog
sekuler tentang agama
1.4 Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan
referensi mengenai agama dan psikologi, serta beberapa situs dari internet
dengan materi yang bersesuaian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Psikologi Ateisme
Nietzsche, seorang ateis dunia yang
terkenal dengan ucapannya “Tuhan sudah mati”, adalah orang yang melecehkan
gagasan Kristen dan orang yang tidak mempercayai Kristen. Pemikiriannya sangat
berkaitan dengan psikologinya yang aneh dan kompleks.
Nietzsche mempunyai seorang ayah
yang merupakan pastor Lutheran. Nietzsche memiliki ikatan batin yang sangat
kuat dengan ayahnya. Sehingga pada saat ayahnya meninggal karena penyakit di otaknya,
ia sangat kehilangan. Sejak kematian ayahnya, Nietzsche mulai menunjukkan
perasaan agama yang kuat, dan mengidentifikasikan Tuhan dengan ayahnya. Ia
berkata, “Dalam segala hal, Tuhan telah membimbingku dengan selamat seperti
seorang ayah yang menuntun anak kecilnya yang lemah. seperti seorang anak, aku
bergantung pada berkatNya.”
Namun pada saat Nietzsche menginjak
usia 24 tahun, ia mulai merasa bahwa ayahnya pergi terlalu cepat. Ayahnya
sangat lembut, dan memiliki banyak kelemahan gara-gara sakit yang di deritanya.
Ia menyimpulkan kelemahan ayahnya berasal dari agama Kristen yang dianutnya. Ia
mulai mengkritik agama Kristen, pada moralitasnya, pada Teologinya, pada
moralitasnya, pada seluruh makna Tuhan Kristiani. Penolakan Nietzsche kepada
Kristianitas tidak lain adalah penolakan terhadap kelemahan ayahnya.
Akhirnya Nietzsche mengalami
penolakan terhadap ayahnya yang lemah dan mati sangat kristiani. Penolakan ini
bukan karena hasil perenungan dan penelitian yang sadar. Akan tetapi karena
nalurinya. Seseorang menolak agama bukan karena secara ilmiah ia menemukan
bahwa agama adalah sekumpulan takhayul, atau karena alasan rasional. Seseorang
menolak agama melainkan karena faktor psikologis yang tidak disadari.
Secara singkat, pada waktu kecil,
anak mengidolakan ayahnya sebagai pelindung dan pemelihara. Ketika anak berada
dalam posisi lemah tak berdaya, ia mendapatkan ketentraman dengan bergantung
pada ayahnya. Bagi setiap anak, ayah adalah Tuhan. Setelah dewasa, ketika
mansuia berhadapan dengan kekuatan alam yang perkasa, ia mengkhayal, berilusi,
tentang Tuhan yang seperti ayahnya. Untuk
memenuhi kebutuhan akan perlindungan seorang ayah, ia menciptakan Tuhan
Bapak. Manusia diciptakan tidak berdasarkan citra Tuhan, tetapi Tuhan
diciptakan berdasarkan citra manusia. Berangkat dari pemahaman itulah,
Nietzsche mendustakan agama.
2.2 Psikologi memusuhi agama
Psikologi sesungguhnya lahir dan
tumbuh besar bersama agama. Namun karena adanya pengaruh sains modern,
psikologi memisahkan diri dan kemudian memusuhi agama. Walaupun perkembangan terakhir
menunjukkan gerakan kearah integrasi, di dunia akademis pandangan yang dominan
setidaknya menganggap agama tidak penting. Pada tingkat yang ekstrim, psikologi
menuduh agama sebagai sumber penyakit mental, dogmatisme, prasangka rasial, dan
tindakan kekerasan. Dan sebaliknya, agamawan menilai psikologi sebagai arogan,
elitis, amoral dan memberhalakan diri.
Hal-hal
yang menjadikan pertentangan antara psikologi dan agama diantaranya adalah:
·
Persaingan perhatian
Agama
menjawab masalah kematian, penderitaan dan bencana. Namun pada beberapa abad
belakangan ini, posisi agama disisihkan oleh sains. Apa yang dulu dijawab
agama, sekarang dijawab sains. Agama
kehilangan otoritasnya, mula – mula dalam menjelaskan alam, dan akhirnya juga
dalam memberikan petunjuk kehidupan. Agama digantikan ilmu pengetahuan alam
untuk memahami dunia, dan digantikan psikologi untuk menghayati pengalaman
subjektif manusia.
Pargament
menyatakan, “psikologi menjadi pesaing agama dalam masyarakat barat. Ia
menawarkan cara memandang dunia dengan pandangannya sendiri tentang kehidupan
yang baik, dan dengan mekanismenya sendiri untuk memecahkan persoalan. Sebagai
pengganti pengakuan dosa, kita punya psikoterapi. Alih-alih konversi, kita punya
pertumbuhan personal. Kita tidak punya kriteria dosa dan pahala, kita punya
etika. Kita dapat mendorong pergantian ini lebih jauh dengan menunjukkan
bagaimana psikologi menyamai agama dalam upacara ritual. Tradisi, penggunaan
lambang, dan pemimpin karismatis. Aku tidak ingin menyebut psikologi sebagai
agama, karena hal itu akan mengaburkan makna agama, tetapi tidak terlalu keliru
untuk menyatakan bahwa dalam teori dan praktek psikologi berfungsi seperti
agama.”
·
Pandangan psikologi yang negatif terhadap
agama
Sebab
kedua yang mendorong keduanya bertentangan adalah paham dominan di kalangan
psikolog yang melecehkan agama. Freud menyebut agama sekali waktu sebagai
obsesi, kadang-kadang sebagai pemenuhan keinginan kanak-kanak, dan ilusi.
Katanya meninggalkan agama menjadi karakter intelektual, menganggap agama
sebagai patologi, akan menjadikan satu sikap ilmiah.
Seorang
psikolog behavioral, Ellis, mengatakan “agama yang dogmatis, ortodoks, dan taat
berkorelasi sangat signifikan dengan gangguan emosional. Orang umumnya
menyusahkan dirinya dengan sangat mempercayai kemestian, keharusan, dan kewajiban
yang absolut. Kebanyakan orang yang secara dogmatis mempercayai agama tertentu
mempercayai hal-hal yang absolut yang merusak kesehatan. Orang yang sehat
secara emosional bersifat lunak, terbuka, toleran, dan bersedia berubah, sedangkan
orang yang sangat religious cenderung kaku, tertutup, tidak toleran, dan tidak
mau berubah, karena itu, kesalehan dalam berbagai hal sama dengan pemikiran
tidak rasional dan gangguan emosional.
·
Pandangan agama yang negatif terhadap
psikologi
Arogansi
psikolog seperti Ellis mengundang reaksi yang keras dari pihak agama. Salah
satunya seorang penulis artikel yang menyerang psikologi mengatakan,“ banyak
orang berkata bahwa psikologi dapat diintegrasikan dengan Alkitab dan agama
Kristen. Ini sama saja dengan mencampurkan apel dan jeruk, yang menghasilkan
salad buah, dan bukannya buah yang asli. Mungkinkah ada persahabatan antara
kegelapan dan cahaya? Bisakah pohon yang tak bertuhan dan buruk menghasilkan
buah yang baik? Adakah nasihat yang bertentangan dengan petunjuk Tuhan? Tuhan
kita adalah tuhan yang pencemburu. Ia tidak ingin berbagi keagungan-Nya dengan
yang lain. Dan ia tidak perlu itu. setiap makhluk yang mau menggantikan firman
Khalik adalah berhala dan Tuhan palsu. Seperti kata Harun kepada Musa, orang-orang
menuntut sapi emas, dan mereka melemparkan ke dalamnya semua kekayaan mereka
dan dari situ keluarlah berhala. Itulah juga yang terjadi pada berhala
psikologi, yang berupaya menggantikan firman Tuhan yang suci.”
Penulis ini juga menunjukkan
pandangan psikologi yang tidak mungkin dipertemukan:
Bibel
berkata
|
Psikologi
berkata
|
Menyangkal
diri dan mengikuti Yesus
|
Meninggalkan
diri, harga diri lebih tinggi
|
Lupakan
masa lalu
|
Tenggelamkan
diri ke masa lalu
|
Hormati
ayah dan ibu
|
Salahkan
ayah dan ibu
|
Dosa
adalah masalah
|
Pelecehan
atau penyakit adalah masalah
|
Jawabannya:
pertobatan
|
Jawabannya:
terapi lebih banyak
|
Selalu
menilai dan mengukur
|
Jangan
mempertanyakan terapis
|
Jangan
percaya pada mitos dan filsafat hampa
|
Teori
mengembalikan memori
|
Cintai
tuhan, kemudian tetanggamu
|
Cintai
diri
|
Cinta teragung adalah berserah diri
|
Cinta
teragung adalah mencintai diri
|
Jangan
berhalakan apa pun di samping Tuhan
|
Berhala
psikologi boleh-boleh saja
|
Tidak
boleh ada nasihat melawan tuhan
|
Psikologi
adalah pengecualian
|
Konseling
berdasarkan agama
|
Setiap
orang bisa jadi konselor
|
Semua
kepintaran duniawi dimata Tuhan adalah ketololan
|
Doktor
tahu apapun
|
Tidak
boleh mendakwa tanpa ada dua saksi
|
Boleh-boleh
saja berpraduga
|
Memaafkan
adalah perintah
|
Memaafkan
adalah pilihan
|
Cinta
akan menutupi aib bapak
|
Ceritakan
aib bapak pada semua orang
|
Diharamkan
sihir dan guna-guna
|
Hipnotis
dibolehkan
|
Setan
penyebar fitnah
|
Boleh-boleh
saja memfitnah
|
Haram
bersaksi palsu
|
Boleh-boleh
saja asal kamu percaya
|
Terlarang
bercerai atau keluarga hancur
|
Cerai
boleh dan bahkan bermanfaat
|
Boleh
memukul anak
|
Pemukulan
anak adalah pelecehan
|
Sembahlah
tuhan
|
Terlalu
banyak mengingat tuhan adalah neurotis
|
Laknatlah
setan
|
Buat
cerita tentang setan
|
Berbahagialah
ia yang datang atas nama tuhan
|
tidak
baik berbeda dengan kelompok terapis
|
Minuman
keras adalah haram
|
Alkoholisme
adalah penyakit
|
Homoseks
adalah kekejian
|
Homoseks
adalah gaya hidup alternatif
|
Kebenaran
adalah firman Tuhan
|
Kebenaran
adalah subjektif
|
Realitas
adalah firman Tuhan
|
Realitas
adalah subjektif
|
Dosa
berakibat buruk
|
Satu-satunya
dosa adalah harga diri yang rendah
|
Neraka
adalah api yang sebenarnya
|
Neraka
hanyalah mitos atau metafora
|
Tuhan
menganggap mereka (orang-orang Kristen) sebagai pengikut sapi emas
|
Kristen
masih suka psikologi
|
Semua
manusia berdosa, hanya Tuhanlah yang maksum
|
Manusia
baik, tetapi disfungsional
|
Dosa
dibelenggu egoisme
|
Ketergantungan
atau penyakit tidak bisa dilepaskan
|
Dusta
berarti mendustakan Yesus
|
Dosa
adalah biasa
|
Mengarahkan
manusia kepada Yesus
|
Mengarahkan
manusia kepada diri sendiri
|
Tuhanlah
satu-satunya penyembuh kita
|
Setiap
orang bisa menyembuhkan dirinya
|
Bergantunglah
pada tuhan
|
Bergantunglah
pada diri sendiri
|
Tidak
mengandalkan perasaan untuk mengambil keputusan
|
Perasaan
menentukan keputusan
|
Gila
muncul karena orang mengandalkan diri dan perasaan
|
Gila
disebabkan penyakit mental.
|
2.3 Agama menurut para Psikolog Sekuler
Berikut adalah pendapat beberapa
psikolog sekuler mengenai agama:
·
James Leuba : Agama sebagai
irasionalitas dan patologi
Psikolog
yang paling memusuhi agama tradisional, tetapi juga paling informative dan
persuasif adalah Leuba. Leuba menentang agama teistik tradisional dengan
berbagai cara. Ia mengumpulkan secara langsung bukti-bukti untuk menyimpulkan
bahwa pengalaman mistikal dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip pokok
psikologi dan fisiologi.
Leuba
membuat semacam kuesioner dengan tujuan mengumpulkan data mengenai agama.
Hasilnya menunjukan bahwa para ilmuwan dan sejarahwan yang terkenal jauh lebih
kecil kemungkinanya untuk mempercayai Tuhan dan keabadian ketimbang rekan-rekan
mereka yang kurang terkemuka. Di samping keterkenalan, para ilmuwan yang paking
kecil kemungkinan untuk mempercayai kepercayaan agama adalah mereka yang paling
menguasai informasi tentang proses biologis dan psikologis. Di antara semua
ilmuwan yang menjawab kuesioner Leuba, para psikolog menunjukkan tingkat
kepercayaan yang paling rendah.
Walaupun
sangat keras mengkritik agama, Leuba sebetulnya bermaksud untuk memperbarui dan
bukan menghancurkan agama. Leuba mengemukakan teori tentang dorongan spiritual
inteelilgen menuju kesempurnaan moral, suatu kecenderungan yang dianggapnya
sebagai karekteristik asasi tabiat manusia. Leuba menyarankan dibentuknya kelompok
keagamaan yang menggunakan bentuk-bentuk upacara, ibadah, pengakuan dan
kesenian sacral yang sudah dimodifikasi dan dikembangkan berdasarkan bantuan
pengetahuan ilmiah dan pengalaman bersama. Walaupun mereka tidak lagi menyembah
Tuhan sosial, anggota masyarakat ini dapat mengambil faedah dari nilai- nilai
hakiki, termasuk wawasan batiniah, kedamaian, dan energi moral dari tradisi
teistiknya.
·
B.F Skinner : agama sebagai perilaku
yang diperteguh
Jika
pandangan Leuba tentang sains masih mempertahankan adanya dorongan spiritual,
pandangan kaum behavioris yang keras mendorong mereka mereduksi agama
seluruhnya menjadi perilaku yang ditentukan secara mekanis. Skinner mempertahankan
bahwa, seperti perilaku lainnya, keragaman pengalaman agama terjadi karena
diikuti oleh stimuli yang memperteguh.
Kepercayaan
dan aturan agama menghimpun akibat-akibat dari peneguhan yang dilakukan oleh
agen-agen pengendali untuk kepentingan mereka sendiri dan sekaligus untuk
keuntungan institusi agama dan tatanan sosial yang lebih besar.
Menurut Skinner, jika suatu hari
anda pergi ke tempat ibadah dan merasakan kedamaian, anda akan datang
berkali-kali ke situ. Kedamaian menjadi peneguh. Yang mendorong anda untuk
melakukan shalat bukanlah petunjuk yang datang dari langit, seperti kata ustad,
bukan pula karena tekanan bawah sadar, seperti teori psikoanalis. Anda
melakukannya karena dahulu pada saat anda pertama kali melakukannya, anda
merasa terbebas dari tekanan dan merasa lega. Hal inilah yang disebut tindakan
berulang yang diperteguh atau tensionreducing
behavior.
Skinner berpendapat bahwa agama
masih dibutuhkan oleh orang awam, terutama untuk mendorong mereka menangguhkan
pemuasan kebutuhan masa kini untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
·
George Vetter : agama sebagai respon
pada situasi tak terduga
Vetter menjabarkan berbagai alasan untuk
penilaiannya yang negatif terhadap agama : konsepsi naïf tentang Tuhan yang
bersifat antropomorfis, peperangan dan kebiadaban lainnya yang dilakukan atas
nama agama sepanjang sejarah, keterbelakangan pengetahuan tokoh agama berkenaan
dengan masalah sosial, kegagalan iman keagamaan dalam menunjukkan hubungan
empiris yang konsisten dengan perilaku moral.
Vetter berpendapat bahwa agama adalah respons
manusia untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan tidak terkendali. Ada
dua faktor utama yang menentukan apakah perilaku itu akan terjadi. Pertama
perilaku yang bermanfaat pada situasi terdahulu akan diulangi lagi dalam bentuk
ritual pada situasi yang sama dikemudian hari. Dengan cara begitu, kata Vetter,
dalam situasi terdesak, Tuhan sering disapa sebagai orang tua. Kedua, menurut
teori belajar Guthrie, perilaku cenderung dijalankan jika perilaku itu mengubah
kompleks asosiasi stimulus yang mendorongnya atau jika perilaku itu
setidak-tidaknya sedang berlangsung ketika sesuatu yang lain mengubah situasi,
karena dalam kedua keadaan itu perilaku itu dipertahankan sebagai tindakan
terakhir yang berkaitan dengan kompleks tersebut.
Vetter mengidentifikasi dua kelompok perilaku agama
yang memenuhi kriteria ini. Pertama perilaku entreaty seperti doa atau meditasi
yand dapat dipertahankan untuk waktu yang lama dan boleh jadi memberikan
ketenangan yang diperlukan untuk tindakan praktis yang stimultan. Dan perilaku
orang seperti upacara dramatis yang mengalihkan individu cukup lama sehingga
stres emosionalnya berangsur – angsur hilang dengan sendirinya.
·
Sigmund Freud : agama sebagai pemuasan
keinginan kekanak-kanakan.
Menurut freud, agama ditandai dengan dua ciri yang
menonjol, yakni kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam sosok bapak dan ritual
wajib yang dijalankan secara menjelimet.
Freud menyimpulkan agama berasal dari pengalaman
universal kanak-kanak. Pada usia dini, anak-anak menganggap orangtua, terutama
bapak, sebagai orang yang maha tahu dan dan maha kuasa. Pemeliharaan yang penuh
perlindungan dan kasih sayang yang dilakukan oleh sosok berkuasa seperti itu
menentramkan anak yang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surga
buatan baginya. Bertahun-tahun kemudian ketika kekuatan alam dan situasi hidup
lainnya membangkitkan perasaan tak berdaya, kerinduan akan seseorang yang
berkuasa memperoleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra tuhan sebagai bapak yang
mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapaklah, yang disebut freud
“merupakan akar setiap bentuk agama”.
Karena itu, menurutnya agama adalah ilusi, yang
berarti agama adalah hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan dan
pemikiran. Lebih dari itu, agama adalah ilusi yang berbahaya baik bagi individu
maupun masyarakat.
Individu yang diajari dogma agama pada usia dini dan
kemudian dihambat untuk berpikir kritis terhadapnya, besar kemungkinan akan
didominasi oleh hambatan berpikir. Hanya dengan meninggalkan agama dan
ajarannya yang dogmatis dan bertumpu pada sains dan akal, individu akan
berkembang melewati tahap kekanak-kanakannya. Individu yang dewasa akan belajar
hidup dengan menerima banyak celah yang ditinggalkan sains, serta dengan berani
menghadapi situasi tak berdaya yang menjadi nasib kita semua. Setelah
kedewasaan ini meluas, kata Freud, peradaban takkan lagi menindas dan kehidupan
pada akhirnya diterima dengan ikhlas.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
·
Psikologi Ateisme memandang agama
sebagai pencitraan manusia terhadap kelemahan sehingga menciptakan sosok yang
dapat melindunginya. Sehingga melahirkan satu kesimpulan bahwa bukan manusia
yang diciptakan Tuhan tapi Tuhan yang diciptakan dari pencitraan manusia
·
Hal – hal yang menyebabkan psikologi
bertentangan dengan agama adalah karena adanya persaingan, pandangan psikologi
yang negatif terhadap agama (menyatakan agama sebagai patologi atau penyakit mental),
dan pandangan negatif agama terhadap psikologi yang menyatakan bahwa psikologi
memberhalakan diri
·
Pandangan psikolog sekuler mengenai
agama diantaranya
-
James Leuba : Agama sebagai irasionalitas dan patologi
-
B.F Skinner : Agama sebagai perilaku yang diperteguh
-
George Vitter : Agama sebagai respon pada situasi tak terduga
-
Sigmund Freud : Agama sebagai pemuasan keinginan kekanak-kanakkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rakhmat, Jalaludin.
2004. Psikologi Agama, sebuah pengantar. Bandung:
PT Mizan Pustaka
Yusuf, Syamsu. Psikologi Belajar Agama. Bandung:
Maestro
http://www.scribd.com/doc/14943279/psikologi-vs-agama#fullscreen:off
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/muslim-taat-murtad-gara2-psikologi-t17414/
http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01773.html
0 comments:
Post a Comment